Pendidikan Kitab Kuning di Pesantren

Diposting oleh pondok pesantren an-nasyath | 17.26 | | 0 komentar »


Mukadimah
Pada umumnya, pondok pesantren (seterusnya disebut pesantren) dipandang sebagai sebuah sub-kultur yang mengembangkan pola kehidupan yang unik menurut kaca mata umum. Di tengah perkembangan dunia yang semakin intensif dan ekstensif adalah suatu fenomena yang menarik jika terdapat kenyataan adanya lembaga pendidikan yang konsisten mengembangkan tradisi akademik dan intelektualisme tradisional secara otonom. Suatu fenomena yang menarik pula apabila di tengah skeptisisme atau bahkan sinisme banyak kalangan terhadap adabtabilitas pesantren (lagging behind the time), ia justru menunjukkan dinamika yang luar biasa. Kredo pesantren yang diulang-ulang dan dipegang teguh, al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah seakan menjadi jurus ampuh yang membentuk pesantren menjadi sosok yang terlihat modern akan tetapi sekaligus otentik pada tataran ontologi, espitemologi maupun aksiologi pemikiran.
Rahardjo (dalam Sulaiman, 2010: 5) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa sejak awal pertumbuhannya, pesantren memiliki bentuk yang beragam sehingga tidak ada suatu standarisasi khusus yang berlaku bagi pesantren. Namun dalam perkembangannya tampak adanya pola umum sehingga pesantren bisa saja dikelompokkan ke dalam dua tipe yaitu pesantren modern (khalafiyyah) dan pesantren tradisional (salafiyyah). Keduanya mempunyai ciri-ciri utama yang berbeda di samping juga menyimpan salah satu ciri utama yang sama yaitu masih diselenggarakannya pendidikan kitab kuning meski dengan frekwensi dan tingkat keseriusan yang berbeda antara keduanya.


Metode Pendidikan Kitab Kuning
Kitab Kuning adalah salah satu dari elemen pendidikan pesantren yang utama selain kepemimpinan kyai. Dari kitab-kitab ini lah digali segenap tata nilai dan ilmu pengetahuan Islam pesantren. Kitab kuning sebagai hasil karya para ulama klasik yang nota bene merupakan kiblat nilai dan intelektual para civitas akademika pesantren menempati posisi yang utama dan sentral setelah Al-Quran dan Al-Sunnah. Dengan mengadaptasi tesis pemikiran Abu Zayd (2000; 9) yang menempatkan budaya Islam-Arab sebagai budaya teks maka tidak berlebihan bagi penulis menempatkan pula bahwa budaya pesantren adalah budaya teks yang terbentuk melalui cara berpikir referensial yang terpusat pada kitab kuning.
Jika Hasan Hanafi (2000; 9-10) melakukan kategorisasi keilmuan Islam menjadi tiga rumpun yaitu: ulum naqliyyah (ilmu-ilmu tekstual yaitu: hadits, tafsir, fiqh, sirah dan ulumul quran), ulum naqliyyah-aqliyyah (tekstual-rasional yaitu: ushul fiqh, filsafat, tasawuf, dan teologi) dan ulum aqliyyah (ilmu-ilmu rasional: sains dan humaniora) maka dalam rumpun ilmu-ilmu itu ada sekitar sembilan ratus (900) judul kitab kuning yang beredar di lingkungan pesantren dengan prosentase 20% dengan substansi fiqh dan ushul fiqh, teologi berjumlah 17 %, bahasa Arab (nahwu, sharf, balaghah) 12 %, hadits Nabi 8%, tasawuf 7 %, akhlak 6%, pedoman doa (wirid, mujarrabat) 5% dan karya puji-pujian kenabian (qishash al anbiya, maulid, manaqib) 6%. Pengadopsian ilmu-ilmu rasional dalam pesantren terjadi seiring perkembagan dunia pesantren yang bergerak kemudian dalam rangka merespon modernitas yang ditandai dengan kebangkitan ilmu-ilmu sains dan humaniora di dunia Islam.
Sedangkan terkait metode pendidikan kitab kuning, pesantren mengenal setidaknya tiga metode yaitu: wetonan (bandongan), sorogan dan hafalan. Metode wetonan merupakan metode kuliah di mana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kiai yang menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing-masing dengan memberi makna gandul yang disebut dengan istilah ngasahi dan memberikan catatan bila perlu. Metode sorongan adalah di mana santri membaca kitab dan maknanya satu persatu di depan kiai. Kiai cukup menunjukkan cara baca yang benar. Adapun metode hafalan berlangsung di mana santri menghafal teks yang dipelajarinya baik berupa nadzam (syair) maupun makno gandul dan penjelasannya dalam bahasa daerah (masyhud, 2003; 89). Sedangkan sistem jalsah atau halaqah biasanya merupakan ajang debat akademik baik bagi dan antar santri senior, ustadz maupun kiai yang sudah mumpuni.
Lebih dari itu, pesantren memahami pendidikan tidak hanya sekedar transfer ilmu pengetahuan melalui sistem dan metode yang ada tersebut, akan tetapi lebih kepada pengamalan ilmu pengetahuan melalui akhlak mulia sebagai the core of pesantren. Menurut Wahid (dalam Sulaiman, 2010; 140) perbedaan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan umum melahirkan perbedaan dalam cara siswa atau santri belajar. Orientasi mengejar nilai atau kelulusan mengharuskan siswa belajar tekun, mengikuti bimbingan belajar atau kalau perlu nyontek. Sementara di kalangan santri ketekunan dalam belajar dibarengi dengan tirakat, serta puasa senin-kamis atau puasa ngrowot (tidak makan nasi dalam jangka waktu beberapa tahun) sehingga pola kerja akal dibarengi dengan kekuatan batin. Lebih jauh Wahid mengemukakan bahwa di pesantren juga tidak ada ujian, kecuali dalam sistem klasikal sehingga tidak ada santri yang nyontek. Kalau santri sudah selesai pengajian suatu kitab maka ditutup dengan pembacaan doa bersama, pemberian ijazah dari kiai, atau izin untuk mengajarkan kitab yang dipelajari kepada orang lain.

Ontologi Kitab Kuning
Kitab kuning dalam disiplin bahasa Arab berkaitan erat terutama dengan masalah-masalah nahwu, shorf dan balaghah. Kitab kuning shorf paling dasar bagi para pemula adalah Al-Bina wa Al-Asas karya Mulla Al-Danqari, kemudian dilanjutkan kitab Al-Tashrif buah karya Ibrahmin Al-Zanzani atau kitab Al-Maqshud. Dalam bidang ini, kitab dalam bahasa jawa pun beredar misalnya kitab Al-Amsilah Al-Tashrifiyyah karya Muhammad Ma’shum bin Ali, asal Lasem, Jawa Tengah dan shorf mlangi hasil anggitan Kyai Nur Iman dari Mlangi, Yogyakarta. Setelah itu setingkat lebih tinggi ada kitab kuning syarkh (komentar) atas Al-Maqshud yaitu Hall Al-Maqal karya Muhammad Ullays (w. 1881 M) dan komentar atas Al-Tashrif yaitu Kaylani karya Ali Ibn Hisyam Al-Kaylani. Sedangkan dalam bidang Nahwu, kitab kuning pemula adalah Al-Awamil Al-Miah karya Abd Al-Qahir Ibn Abdirrahman Al-Jurjani (w. 471 H), Al-Muqaddimah Al-Ajrumiyyah karya Abu Abdillah Ibn Dawud Al-Shanhaji bin Ajrum (w. 723 H). Kemudian kajian nahwu tingkat menengah menggunakan Al-Durar Al-Bahiyyah yang dikenal dengan ‘Imrithi karangan Syarf Ibn Yahya  Al-Anshari Al-Imrithi dan lebih tinggi lagi menggunakan kitab kuning Al-Mutammimah karya Samsuddin Muhammad bin Muhammad Al-Ru’yani Al-Khatabi dan Alfiyyah Ibn Malik beserta kitab kuning syarkh yang dikenal dengan Ibn Aqil anggitan Abdullah bin Abdirrahman Al-Aqil. Adapun yang membahas balaghah sekurang-kurangnya ada tiga kitab kuning yang terkenal yaitu Al-Jauhar Al-Maknun karya Abdurrahman Al-Akhdari (w. 920 H/1514 M), Al-Mursyid Ala Uqud Al-Juman fi ‘Ilm Al-Maani wa Al-Bayan karya Jalaluddin Al-Suyuthi yang meupakan edisi nadzm dari ‘Ilm Al-Ma’ani wa Al-Bayan karya Sirajuddin Al-Sakkaki dan Al-Risalah Al-Samarqandiyyah karya Abu Al-Qasim Al-Samarqandi.
Sementara itu ilmu mantiq menyediakan teori-teori logika Aristoteles. Di kalangan pesantren ilmu ini sangat dibutuhkan terutama untuk mempertajam analisis fiqh dan penerapan ilmu ushul fiqh. Kitab kuning yang paling terkenal dalam masalah ini adalah Al-Sulam Al-Munawarraq fi ‘Ilm Al-Manthiq karya Al-Akhdar, pengarang kitab Al-Jauhar Al-Maknun. Komentar atas kitab kuning ini dibuatnya sendiri dalam Idat Al-Mubham min Ma’ani Al-Sulam. Selain itu ada satu lagi kitab kuning manthiq yang selalu dikaji di pesantren yaitu Isaghuzi, karya Atsiruddin Mufadhdhal Al-Bahri (w. 663 H/1264 M).
Sedangkan kitab kuning dalam bidang fiqh hampir semua yang beredar termasuk dalam kriteria fiqh Madzhab Syafi’i. Van Bruinessen mengungkapkan bahwa karya-karya fiqh Syafi’i berasal atau merupakan kreasi lanjutan dari tiga kitab kuning yang muncul sebelumnya yaitu Al-Muharrar karya Al-Rafi’i (w. 625 H/1226 M), Al-Taqrib karya Abu Syuja’ Al-Isfahani (w. 593 H/1197 M) dan Qurrah Al-Ayn karangan Al-Malibari (w. 9756 H/1567 M). Dari garis Al-Muharrar lahir Minhaj Al-Thalibin karya Abu Zakariyya Yahya An-Nawawi (w. 676 H/1277-8 H). Kemudian generasi berikutnya kitab-kitab kuning yang ada merupakan syarkh atas Minhaj yaitu Tuhfah Al-Muhtaj karya Ibn Hajar Al-Haytami (w. 973 H/1565-6 M) dan Nihayah Al-Muhtaj karya Samsuddin Al-Romli (w. 1004 H/1595-6 M). Begitu juga Mughni Al-Muhtaj karya Khatib Al-Syarbini (w. 977H/1569-70 M), Kanz Al-Raghibin yang lebih dikenal dengan Al-Mahalli karya Jalaluddin Al-Mahalli (w. 864 H/1460 M) dan Minhaj Al-Thullab karya Zakariyya Al-Anshari (w. 926 H1520 M). Generasi ketiga dari kitab Al-Muharrar adalah karya Al-Anshari, Fath Al-Wahhab yang merupakan ringkasan dari karyanya sendiri yaitu Minhaj Al-Thullab. Kitab kuning lainnya dari generasi ini hanya merupakan ringkasan dan intisari dari kitab kuning generasi sebelumnya. Sementara itu dari kitab Fath Al-Wahab lahir dua kitab hasyiyah (komentar atas komentar), masing-masing oleh Bujayrimi (w. 1221 H/1806 M) dan Jamal (w. 1204 H/1780-90 M).
Adapun dari kitab Ghayah wa Al-Taqrib karya Abu Syuja juga lahir dan berkembang sejumlah kitab kuning di lingkungan pesantren. Dari kitab ini muncul Al-Iqna’ karya Syarbini (w. 977 H/1569-70 M), Kifayah Al-Akhyar karya Al-Dimasyqi (w. 829 H/1426 M0 danb Fath Al-Qarib karya Ibn Qasim (w. 918 H/1512 M). Garis lain dari fiqh Syafi’i adalah Kitab Qurrah Al-‘Ayn karya Al-Malibari. Dari sini lahirlah Nihayah Al-Zayn karya Syaikh Nawawi Al-Bantani dan Fath Al-Mu’in karya lanjutan Al-Malibari sendiri. Kemudian dua kitab kuning lain lahir dari Fath Al-Mu’in yaitu I’anah Al-Thalibin karya Sayyid Bakri (w. 1893 M) dan Tarsyih Al-Mustafidin karangan Alwi Al-Saqqaf (w. 1916 M).
Dalam daftar van den Berg ada garis lain yakni kitab kuning elementer abad ke 9 H, yaitu kitab Muqaddimah Al-Hadhramiyyah karya Abdullah bin Abdul Karim ba-Fadhal. Dari garis ini lahir Minhaj Al-Qawim karya Ibn Hajar, yang kemudian pada abad ke 18 melahirkan Al-Hawasyi Al-Madaniyyah karya Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi. Melalui garis ini, kitab kuning yang paling terkenal dan beredar di hampir seluruh pesantren di Jawa hanya kitab Minhaj Al-Qawim yang kandungannya terbatas pada fiqh ibadah saja. Adapun dua kitab komentar lagi atas kitab Al-Muqadddimah adalah karya Syaikh Mahfudz Al-Tirmisi dan Busyr Al-Karim bi Syarkh Masail Ta’lim ala Muqaddimat Al-Hadhramiyyah karya Said bin M. Bahsin. (Mochtar dalam Wahid, dkk (Ed.), 1999: 241-244).
Dalam bidang Ushul Fiqh pesantren mengenal beberapa kitab di antranya Al-Waraqat karya Imam Al-Haramayn (419-478 H/1028-1085 M), Al-Luma’ fi Ushul Al-Fiqh karya Abu Ishaq Al-Syairazi Al-Syafi’i (w. 476 H), Lathaif Al-Isyarat dan Jam’ Al-Jawami’ karya Tajuddin Al-Subki (w. 769 H) serta Al-Asybah wa Al-Nadzair karya Jalaluddin Al-Suyuthi (849-911 H/1445-1505 M).Kitab Jam’ Al-Jawami’ karya Al-Subki mendapatkan komentar dalam Lubb Al-Ushul karya Abu Zakariya Al-Anshari. Lubb Al-Ushul sendiri mendapatkan komentar oleh Muhammad Al-Jauhari dan Abu Zakariya Al-Anshari dalam Ghayah Al-Wushul. Jalaluddin Al-Mahalli juga mempunyai komentar atas Jam‘ Al-Jawami’ yang kemudian mendapatkan komentar atas komentar dari Al-Bannani (Hanafi, 2004: 33)
Konvensi yang terjadi antara ulama pesantren untuk menjadikan kitab tertentu sebagai text book di pesantren-pesantren mereka dalam kurun waktu yang sekian panjang akhirnya memapankan kitab-kitab tersebut menjadi sumber pengetahuan, terutama keagamaan, di pesantren yang sulit tergantikan. Bukan hanya semata-mata sebuah konvesi yang terjadi akan tetapi karena kitab kuning telah membuktikan dirinya mampu membentuk kerangka berpikir santri yang taat kepada ajaran agama di samping ia sendiri mempunyai potensi besar sebagai sumber pengetahuan untuk merespon berbagai permasalahan hidup dan menerima untuk ditransformasikan dalam konteks kekinian dengan tetap mempertahankan apa-apa yang baik di dalamnya untuk diketahui dan terapkan.
  
Penutup
Pesantren, dengan Al-Quran dan Al-Sunnah sebagai sumber pengetahuan yang mutlak dan kitab kuning sebagai penunjang utama kontruksi pengetahuan dan nilai-nilai pesantren, telah menghadapi banyak tantangan di sekian babakan sejarah semenjak masa-masa formatifnya hingga periode perkembangannya kini. Pesantren terbukti mampu mengatasi dan melakukan penyesuaian diri yang terus menerus dengan berbagai pengembangan yang nyata namun kadang tersimpan dengan ciri khas masing-masing tanpa mengorbakan identitasnya.
Sekarang ini, tepatnya pada akhir dasawarsa pertama dan awal dasawarsa kedua abad XXI, pesantren dihadapkan bukan lagi pada tantangan globalisasi Barat di mana pesantren sanggup mempertahankan karakteristiknya tanpa lebur di dalam hegemoni modernitas, akan tetapi dihadapkan pada isu fundamentalisme dan radikalisme yang sangat mungkin terinpirasi pemikiran dan gerakan wahabisme global dan sudah merangsek semakin intensif dan ektensif di Indonesia. Akan kah pesantren mampu menyikapinya dengan bijak, memapankan dan menebarkan Islam ala pesantren sebagai Islam rahmatan lil alamin? Tantangan yang tidak mudah bukan? (HM. Anis Mashduqi)

0 komentar

Posting Komentar